• Tim ElCe
  • Biodata Elnino
  • Privacy & Policy
  • Kontak
Elnino Center
Apa yang sudah dilakukan Elnino di DPR RI?
  • Home
  • Profil Elnino
  • Sekilas
    • Tentang MPR
    • Tentang DPR
    • Bingkai Besar Partai Gerindra
    • Tim Elnino Center
  • Fungsi Elnino di Parlemen
    • Pelaksanaan Tugas Elnino
    • Anggota DPR RI
    • Badan Anggaran DPR RI
    • Tim Pengawasan DPR RI
    • Sekretaris Fraksi Gerindra di MPR RI
    • Representatif Perwakilan Gorontalo
    • Ketua DPD Gerindra Gorontalo
  • Fungsi Elnino Center
  • Podcast Posabari
No Result
View All Result
  • Home
  • Profil Elnino
  • Sekilas
    • Tentang MPR
    • Tentang DPR
    • Bingkai Besar Partai Gerindra
    • Tim Elnino Center
  • Fungsi Elnino di Parlemen
    • Pelaksanaan Tugas Elnino
    • Anggota DPR RI
    • Badan Anggaran DPR RI
    • Tim Pengawasan DPR RI
    • Sekretaris Fraksi Gerindra di MPR RI
    • Representatif Perwakilan Gorontalo
    • Ketua DPD Gerindra Gorontalo
  • Fungsi Elnino Center
  • Podcast Posabari
No Result
View All Result
Elnino Center
No Result
View All Result
Home Profil

Orang Tua Elnino

admin by admin
April 1, 2022
in Profil
0
Hadjari Ismail Lebie
0
SHARES
2
VIEWS
WhatsAppFacebookTwitterTelegramWechatLine

Mustapa Mohi

Dua anak umur 13 tahun dan 11 tahun itu tak henti-hentinya membaca Surah Yasin, 12 Juni 1989. Mereka adalah Elnino dan Rahmad Katon Mohi. Kakak-kakak mereka berlinang air mata, satu per satu menghadap sang ayahanda yang sedang sekarat, memohon maaf dan mengucapkan terimakasih. Mustapa Mohi telah lama terbaring sakit. Tubuh rentanya tak lagi sanggup digerakkan. Tapi dia masih tersenyum.

“Maa ilambunguwa’u timongoli nga’mila… Wawu ambunguwa ma’o li mongoli wa’u… Maatiya Eeya’u mohama ola’u… (sudah kumaafkan kalian semua… dan mohon kalian maafkan aku… Sebentar lagi Tuhanku akan menjemputku)”, terbata-bata Mustapa Mohi. Lalu dia berbisik sebentar kepada isterinya, Hadjari I. Lebi. Tak berselang lama kemudian, “Laa ilaaha illa Allah…”, suaranya pelan. Tiga tarikan nafas berlalu, Mustapa Mohi tinggallah raga. Senyum masih ada di bibirnya….

Suasana di Jln. Barito No. 38 penuh isak tangis. Tetapi isteri dan anak-anak almarhum Mustapa Mohi nyaris tak mengeluarkan suara sama sekali, hanya tubuh mereka yang gemetar. Tampaknya mereka begitu kuat menerima kenyataan, walaupun pada faktanya hati mereka sedih bukan main-main. Semasa hidupnya, Mustapa Mohi selalu melarang orang menangis sambil bersuara jikalau ditinggal mati orang terkasih. Mereka sadar, jikalau tangis mereka sampai kedengaran, pasti almarhum marah besar.

Selama 63 tahun hidupnya, Mustapa Mohi telah mengalami berbagai lika-liku kehidupan. Terlahir, 20 Agustus 1927, sebagai anak sulung dari 6 bersaudara, Roki – begitu nama kecilnya beroleh beban yang berat sejak masa kecilnya. Katrina Mohi, bapaknya, adalah saudagar kecil (semacam pedagang kelontong/cabo), mendatangi pasar- pasar di Telaga hingga Tabila’a (Bolmong). Dia membangun rumah di Olele, Oluhuta.

Oleh bapaknya, Roki kecil ditugasi untuk membantu menghidupi ibu dan adik-adiknya dengan membuka kebun, serta memelihara sapi dan kambing milik keluarga. Dan…ini yang penting; Roki dilarang sekolah. Keinginannya yang besar untuk sekolah akhirnya membuat dia berontak dari bapaknya, dan memutuskan untuk tinggal bersama pamannya, Bapak Yunus Latif, di Telaga, yang juga seorang guru. Dia disekolahkan oleh sang paman. Pak Guru Yunus Latif kemudian dikenal sebagai Temey Roki, dan dikenal juga sebagai Pak Guru Roki. (Catatan: Dalam tradisi Gorontalo, ada yang disebut dengan “toli”, yaitu menyebut nama seorang tokoh dengan menggunakan nama keponakannya).

Singkat cerita, Roki atau Mustapa Mohi berhasil menamatkan sekolahnya lalu menjadi guru. Dia juga sempat mengajak adik laki- lakinya, Abubakar Mohi ke Telaga untuk sekolah, dan kemudian juga menjadi guru.

Selain merintis pendirian beberapa sekolah SD di Telaga, Bonepantai, Tapa dan Suwawa, Mustapa Mohi juga ikut dalam Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pimpinan KH. Abas Rauf (Kaali Abasi), partai politik yang sangat kuat di Gorontalo pada Pemilu 1977 selain Golkar. Dia sempat menjadi anggota DPRD saat itu.

Mustapa Mohi juga merupakan anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) karena keikutsertaannya dalam perjuangan yang dipimpin oleh Bapak Nani Wartabone (Temey Jonu) menghadapi beberapa pemberontakan terhadap NKRI.

Dia juga merupakan bisnisman yang cukup gigih, mengembangkan usaha perkebunan kopra, kapur, dan angkutan umum bendi, serta membangun beberapa koperasi yang kuat dan bermanfaat bagi para anggotanya.

Ketika ada kebijakan dari pusat bahwa PNS tidak dibolehkan untuk ikut partai politik, Mustapa Mohi terpaksa meninggalkan PSII (yang telah dilebur dengan Masyumi dan PNU menjadi PPP). Dia memilih berkarir sebagai guru dan PNS, anggota Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Ketika itu, Korpri diwajibkan berafiliasi kepada Golongan Karya (yang saat itu mengaku bukan sebagai parpol, tetapi “hanya” sebagai sebuah golongan walaupun kekuatan politiknya lebih besar daripada parpol).

Pensiun dari jabatan terakhirnya sebagai Kepala Cabang Dinas PDK Tapa, Mustapa Mohi menikmati sisa hidupnya dengan menyibukkan diri mengurus kebun di sekitar rumahnya.

Selama hidupnya, Mustapa Mohi alias Roki, menikah tiga kali dan dianugerahi 8 orang anak dari ketiga isterinya tersebut. Patut dicatat bahwa Mustapa Mohi tidak berpoligami, dia menikah lagi setelah isterinya meninggal dunia.

Mustapa Mohi, sejak 1979, telah menyiapkan batu nisan bertuliskan namanya sendiri, kain kafan dan benda-benda yang diperlukan untuk upacara kematiannya, walaupun dia meninggal sepuluh tahun kemudian. Itu adalah tradisi yang dilakukan oleh para orang tua di Gorontalo untuk mengingatkan diri sendiri akan kematian yang pasti akan dialami. Mustapa sangat menyadari bahwa yang pasti di masa depan hanyalah mati dan kenangan.

Hadjari Ismail Lebie

Mei 1992. Sebentar lagi libur sekolah. Elnino yang baru saja menjadi juara kelas di SMA 81 Labschool, Jakarta Timur, bersiap-siap untuk magang kerja di salah satu perusahaan Fried Chicken untuk mengisi liburan panjangnya sebelum naik ke kelas 3. Tiba-tiba di Asrama Mahasiswa Gorontalo—Salemba Tengah, tempat dia tinggal, Elnino menerima telegram dari Gorontalo. Isinya singkat, “NINOLIBURPULANG- MAMATUNGGU”.

Elnino berpikir, daripada pulang kampung yang justru mengeluarkan uang, sementara sang mama sendiri sedang kesulitan, maka lebih baik dia cari duit sambil kerja magang. “NINOTIDAKPULANG- KOMAMAGANGCARIUANG”, dia membalas telegram. Malamnya, sang mama menelpon dari wartel, meminta anaknya agar segera pulang, mumpung libur. Tapi anak itu keras kepala. Dia ngotot kerja magang di Jakarta daripada pulang kampung mengisi liburan. Berulang kali ibunya membujuk sampai menangis, Elnino tidak bergeming. Dia benar-benar ingin kerja magang.

Esok paginya, setelah sholat Subuh, Elnino kehilangan kesadaran dirinya. Ketika dia sadar, dia sudah berada di atas Kapal Motor Kambuna yang telah melempar sauh, menuju pelabuhan Bitung. Elnino bingung, karena ini adalah kejadian teraneh selama hidupnya. Dia tiba-tiba sudah berada di atas kapal, dan ternyata di kantongnya sudah terselip tiket Jakarta-Bitung. Seperti mimpi. Kenapa bisa begini? Darimana tiket itu? Karena sudah terlanjur, walau masih bingung, dia memutuskan melanjutkan perjalanan hingga ke Bitung, lalu naik bis ke Gorontalo.

Tiba di depan pintu rumahnya di Gorontalo jam 05.00 subuh, 19 Juni 1992. Mamanya terharu memeluk sekuat-kuatnya si anak yang telah dua tahun tak bertemu. Segala rindu kasih ibu tertumpah. Sejak pagi itu hingga seharian penuh mereka berdua bercerita banyak hal. Masing- masing mencurahkan keluh kesah dan kisah suka-duka selama dua tahun berpisah.

Tak disangka, keesokan harinya, Hadjari Lebie, sang ibu meninggal dunia. Stroke menyerangnya, dan tak dapat diselamatkan lagi di RSAS. Masyarakat di Tapa, Kota Bagian Utara, Kabila dan seluruh keluarga kaget. Sebab, Sus Jari—demikian almarhumah disapa—tidak punya tanda-tanda sakit sama sekali. Perawat yang dikenal murah hati dan murah senyum itu masih beraktifitas seperti biasa di hari-hari sebelumnya.

Shock dan sedih yang tiada tara di hati anak-anaknya. Apalagi Elnino. Baru saja sehari dia sempat berbagi cerita dengan sang mama, anak umur 16 tahun itu sudah harus menerima kenyataan; ibunya wafat dan takkan pernah lagi bertemu di dunia ini. Rasa sedih yang mesti dia pendam dalam-dalam. Saking kuatnya dia memendam penyesalannya, ekspresi wajah Elnino sangat datar. Hampa. Matanya pun tak berlinang, seakan tidak terjadi apa-apa. Seakan yang ada di kesadarannya adalah ibunya masih hidup. Barulah setelah tiga hari sejak kematian sang mama, Elnino menangis di setiap sujudnya ketika sholat, seringkali sholatnya batal karena terlalu lama menangis dalam sujud… tak bisa bangkit. Bagi Elnino, tiada hal yang paling menyedihkan selain kehilangan orang yang dicintai dan mencintainya, apalagi yang pergi selamanya itu adalah seorang ibu. Tapi kesedihan itu tidak membuat anak kelas 2 SMA itu putus asa.

Singkat cerita… Setelah tiba kembali di Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya, barulah Elnino mendengar cerita dari Ipun Gibran, sahabatnya yang tinggal di asrama mahasiswa Gorontalo di Salemba Tengah. “Waktu ngana berangkat ke Gorontalo, Nino, ngana kase bangun pa kita deng te Ais (Luneto). Ngana bapinjam doyi pa te Ais mo bili akang tiket kapal. Torang dua yang pigi di pelabuhan pi bili tiket, kita yang bantu pa ente ba antri tiket. Bo…memang kita liat ngana waktu itu macam stengah-stengah sadar…” kisah Ipun.

Elnino baru tahu, bahwa ketika itu memang dia bersikukuh untuk tidak pulang kampung. Tetapi semua yang dilakukannya hingga berada di atas kapal itu dia lakukan tanpa kesadaran sama sekali. Doa ibunyalah yang menarik ruh dan tubuhnya untuk kembali ke Gorontalo tanpa sadar.

Panggilan ibunyalah yang menuntunnya—seperti dihipnotis—untuk meminjam uang, pergi ke pelabuhan, membeli tiket, hingga naik kapal. Sebab… “Mama saya ingin saya berada di sampingnya ketika beliau meninggal,” kenang Elnino.

Hadjari I. Lebi adalah anak keempat dari pasangan Ismail Lebi dan Hanani Kaluku. Di antara 6 bersaudara, Hadjari adalah yang paling tinggi sekolahnya sehingga berhasil menjadi abdi negara sebagai perawat/suster.

Dikenal sebagai perawat yang pendiam, ramah, Hadjari juga senantiasa tulus membantu orang yang kesulitan. Suatu ketika, misalnya, dari Talulobutu, Tapa, datanglah jam 12.00 malam seorang bapak yang bersepeda ke rumah Sus Jari. Dia minta tolong agar anaknya yang sedang panas tinggi diobati. Malam itu juga Sus Jari minta ditemani Elnino ke Talulobutu, bersepeda dari Bulotadaa.

Rumah yang dituju rupanya adalah gubuk kecil berdinding pitate. Mereka pasti orang susah. Setelah menyuntik dan memberi obat untuk si anak yang sakit, Sus Jari menyelipkan selembar Rp. 500 (lumayan bermakna di tahun 1987) di plastik pembungkus obat. Dia lalu menunggui dua jam hingga anak itu turun panasnya, tentu saja sambil ngobrol dengan tuan rumah. “Setelah yakin anak itu akan segera sembuh, kami pamit pulang, dan mama saya menolak dengan halus pemberian dari tuan rumah,” kenang Elnino.

Salah satu prinsip dari ibunya, kata Elnino, lebih baik memberi kepada yang membutuhkan sesuai kemampuan ketimbang meminjamkan uang yang dia sulit untuk mengembalikan. “Dan hingga hari ini, prinsip itu saya rasa sangat benar. Pernah saya melanggar pesan mama itu. Saya meminjamkan sejumlah uang kepada seorang kawan yang memerlukan… Dan ternyata saya capek untuk menagihnya, hahaha. Jadi, lebih baik diikhlaskan saja…minimal dapat pahala…,” tutur Elnino.

Reputasi Hadjari I. Lebi yang sangat disayangi berbagai kalangan yang mengenalnya benar-benar terlihat ketika jasad beliau dikuburkan di Desa Ayula Selatan. Ribuan orang datang melayat, ribuan orang ikut mendoakan almarhumah, seakan-akan almarhumah adalah tokoh besar. Segala sesuatu dari Allah, segala sesuatu kembali kepada Allah….

Previous Post

INI UANG, TAPI JANGAN PILIH SAYA

Next Post

Menikah Modal Cinta, Why Not?

Next Post

Menikah Modal Cinta, Why Not?

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Pelaksanaan Tugas Elnino

Pelaksanaan Tugas Elnino

April 6, 2022
Siapa Te Elnino?

Siapa Te Elnino?

February 3, 2022
Nama Panggilannya Banyak

Nama Panggilannya Banyak

February 2, 2022
Antar Koran, Ngamen, Hingga Tukang Becak

Antar Koran, Ngamen, Hingga Tukang Becak

January 28, 2022

SI TULANG MUJUR

0
Anggota DPR RI

Anggota DPR RI

0
Hanya Kades yang Boleh Tiga Periode, Elnino: Kalau Presiden, Ruwet Jadinya

Hanya Kades yang Boleh Tiga Periode, Elnino: Kalau Presiden, Ruwet Jadinya

0
Badan Anggaran DPR RI

Badan Anggaran DPR RI

0
Elnino Center Akan Digitalisasi 130 Masjid di Gorontalo

Elnino Center Mengdigitalisasi 50 Masjid di Gorontalo

May 16, 2022
Punya Gedung Baru, Gubernur Dorong Arpusda Gorontalo Bertransformasi Digital

Mengawal Program Pembangunan 3 Perpustakaan Daerah

May 16, 2022
Beasiswa KIP Kuliah untuk 2000 Mahasiswa di Gorontalo

Beasiswa KIP Kuliah untuk 2000 Mahasiswa di Gorontalo

May 15, 2022
Beasiswa PIP untuk 32.000 anak SD, SMP dan SMA/K

Beasiswa PIP untuk 32.000 anak SD, SMP dan SMA/K

May 15, 2022
  • Tim ElCe
  • Biodata Elnino
  • Privacy & Policy
  • Kontak

© 2022 Tim Elnino Center - Jabat - Jaman Elnino

No Result
View All Result
  • Home
  • Profil Elnino
  • Sekilas
    • Tentang MPR
    • Tentang DPR
    • Bingkai Besar Partai Gerindra
    • Tim Elnino Center
  • Fungsi Elnino di Parlemen
    • Pelaksanaan Tugas Elnino
    • Anggota DPR RI
    • Badan Anggaran DPR RI
    • Tim Pengawasan DPR RI
    • Sekretaris Fraksi Gerindra di MPR RI
    • Representatif Perwakilan Gorontalo
    • Ketua DPD Gerindra Gorontalo
  • Fungsi Elnino Center
  • Podcast Posabari

© 2022 Tim Elnino Center - Jabat - Jaman Elnino