Suatu pagi, seorang kakek mendatangi rumah Elnino. Dari penampilannya, kakek itu bisa dipastikan sangat miskin. Setelah berbasa- basi sebentar, si kakek berkata, “Elnino, kita mo pilih ngana, tapi kase akang doyi rokok dulu.” Kondisi seperti ini, Elnino biasanya melakukan persuasi karena memang dia tidak punya uang untuk dibagi-bagi. Yang penting, tidak menyinggung perasaan orang yang datang.
Tetapi, kali ini dia tersentuh. Penampilan kakek itu memang cukup memprihatinkan. Di dompet Elnino tersisa Rp. 15.000. Dikasihlah seluruh isi dompetnya sambil berpesan dengan bahasa yang sopan, “Saya kasih ini pa ti opa, bo mohile ambungu watiya…pohile latiya ti opa ja momili olatiya.”
“Ih, yilongola odito?”
“Sebab, saya berprinsip bahwa semua yang memilih saya adalah mereka yang tidak pernah saya kasih apa-apa. Kalau bapak memilih saya, maka prinsip itu sudah saya langgar. Karena itu saya minta bapak berjanji untuk tidak memilih saya.”
Pulanglah kakek tadi sambil membawa uang itu serta pikiran penuh keheranan. Diceritakanlah peristiwa itu di kampungnya. Sore harinya, seorang ibu menelpon Elnino (maklum, nomor hape Elnino diumumkan di baliho, stiker dan semua atribut kampanyenya). Dari balik telepon, ibu itu menangis tersedu-sedu.
“Pak Elnino, saya malu… Saya mau minta maaf sama pak Elnino, tapi saya malu ketemu.”
“Ish… yilongola ti ibu? Ti ibu sapa ini?”
“Ini, pak…. Saya pe papa yang pigi minta doyi 15 ribu pa ti pak…. Saya malu pak… Saya minta maaf… Memang suka nakal itu saya pe papa, pak…”
“Ooh, tidak apa… Tapi ti ibu sapa ini?”
“Tidak usah ti pak kenal pa saya, pak… Malu saya… Tapi, pak Elnino, saya mohon skaali… Saya pe papa kan so bajanji tidak pilih pak Elnino… Tapi saya mohon skali pak… kase biar kamari torang sekeluarga ini bapilih sama ti pak Elnino…. Yang bajanji tidak pilih Elnino kan cuma ti sebe, torang kan tidak…”