Bagi Elnino dan para sahabatnya, pada hakikatnya setiap individu tidak menginginkan praktek money politics. “Tidak satu orang pun, sejatinya, yang mau menjual suaranya. Tidak ada yang nuraninya memilih seseorang hanya karena sudah diberi sesuatu. Orang memilih seorang caleg atau calon pemimpin pasti bukan semata-mata karena uang, mesti ada alasan lain,” tutur Elnino.
Kalau pun ada seseorang memilih caleg A, yang telah memberinya uang, pilihan itu bukan karena semata-mata uangnya. Bisa jadi si Caleg A itu memang disayangi karena kebaikan hatinya, karena keramahannya, karena kecerdasannya, karena kejujurannya, yang semua itu telah diketahui oleh para pemilih.
Hanya saja, sekarang ini sebagian besar rakyat telah bersikap masa-bodo dan apatis terhadap “pesta demokrasi” ; Pemilu Legislatif, Pilkada, Pilkades, Pilpres. Di mata sebagian besar rakyat, sebagai misal, wakilnya di parlemen tidak akan memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan mereka. Yang benar-benar nyata dan bisa dinikmati rakyat hanyalah ketika mereka membagi-bagikan uang, sembako, dll.
Tidak sedikit pula orang yang tidak tahu atau tidak mau tahu apa saja tugas dan kewenangan dari pejabat yang akan/telah dipilihnya. Bahkan ketika seorang bupati mencalonkan diri lagi, lalu membagikan bantuan sosial kepada masyarakat, orang-orang mengira bantuan itu berasal dari kantong pribadi bupati—padahal dananya berasal dari APBD yang jelas merupakan uang milik rakyat. Nah, ketika masyarakat memilihnya lagi hanya dengan alasan “telah diberi bantuan”, itu berarti dia telah memilih dengan alasan yang tidak tepat.
Sungguh, hakikat dari demokrasi-pemilihan adalah memaksimalkan kedaulatan rakyat untuk memilih orang yang akan menjadi pejabat yang bisa dipercaya untuk mengelola negara/daerah sesuai kewenangannya agar uang milik rakyat (APBN dan APBD) dapat benar-benar dikelola untuk memaslahatkan ummat masa kini dan ummat masa depan.
Triliunan rupiah uang Negara (baca: uang milik rakyat) dihabiskan untuk melaksanakan Pemilu Legislatif, Pilpres, Pilkada, Pilkades. Sayang seribu kali sayang jikalau hasil dari sebuah demokrasi-pemilihan hanyalah pejabat-pejabat yang di kemudian hari diprotes oleh rakyat karena tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan ummat.
Persoalan lain adalah ketika para pemilih-cerdas justru apatis, lalu cuek, lalu akhirnya menjual suaranya. Orang-orang cerdas itu menganggap semua calon…semuanya… tidak bisa dipercaya. Lalu mereka berkesimpulan, “Hmmmhhh… daripada memilih seseorang di antara para calon itu tanpa dapat apa-apa, yah sudahlah…pilih saja yang sudah memberi sesuatu. Toh siapa pun yang kita pilih, nasib kita begini- begini saja.” Sangat apatis, sangat putus asa.
Apatisme itulah yang berusaha dikikis oleh Elnino dan para sahabatnya—kelompok intelektual muda Gorontalo yang terdiri dari para aktifis pemuda, mahasiswa, dosen, wartawan dan PNS. Mereka mencoba membuktikan kepada rakyat, bahwa tidak semua calon tidak bisa dipercaya, bahwa masih banyak di antara calon yang masih memiliki kecerdasan dan nurani, bahwa masih banyak yang masih pantas untuk mengemban kepercayaan publik sesuai kewenangan institusionalnya.
Perjuangan Elnino dkk tidak mudah. Dia menghadapi masyarakat yang mayoritas pragmatis. Tetapi sedikit demi sedikit dia mampu meyakinkan banyak orang. “Paradigma masyarakat kita harus kita ubah 180 derajat. Biasanya di setiap pemilihan politik, orang beranggapan bahwa yang berkepentingan adalah sang calon. Kita semua harus membalikkan pikiran itu, dan mengembalikannya pada yang semestinya, yakni bahwa pemilihan politik adalah untuk kepentingan ummat. Pendek kata, ummat yang berkepentingan, bukan caleg,” ungkap Elnino.