Perkembangan berikutnya, kelompok kajian Elnino itu mulai berpikir struktural, tidak lagi sekadar melakukan gerakan kultural. Mengapa? Karena dalam beberapa kajian awal di desa-desa, justru masyarakat sendiri yang bersuara, “Kalau saja calon-calon anggota dewan seperti kamu, Elnino, boleh saja kami memilih karena nilai-nilai luhur itu.” Ketika menjawab pernyataan seperti itu, Elnino selalunya berkata, “Banyak orang di luar sana yang baik, pak… Dan kalau bapak merasa tidak ada yang bisa bapak percayai, maka wajiblah bapak menjadi caleg…”.
Namun kemudian, muncullah ide di antara para sahabat untuk memajukan Elnino dalam Pemilu 2009. Awalnya Elnino menolak. Sebab, “Tidak banyak orang yang mengenal saya, dan kalau kita kalah secara struktural (kalah dalam Pemilu, red), maka kita kesulitan pula secara kultural (gerakan pencerahan politik, red),” ungkap Elnino.
Para sahabat Elnino memiliki argumentasi lain. “Ka Nino, ini pencalonan adalah pengabdian, sekali lagi pencalonan adalah pengabdian… Bukan soal kalah atau menang. Tapi Ka Nino harus maju supaya kita bisa melihat berapa orang di Gorontalo ini yang memilih karena nilai-nilai yang Ka Nino perjuangkan. Kalau menang, bikinlah contoh bagaimana seorang anggota dewan, dan kalau kalah berilah contoh bagaimana seharusnya orang yang kalah bertindak,” ungkap Taufik Kaili, salah satu sahabat.
Pencalonan adalah pengabdian. Bukan soal kalah atau menang. Dua kalimat itu yang menggugah sehingga Elnino menyatakan siap mengikuti Pemilu 2009. Disepakatilah oleh kelompok kecil itu untuk mengajukan Elnino kepada masyarakat Gorontalo sebagai salah satu calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia.
Mengapa bukan ke DPR atau DPRD? Mengapa ke DPD? Menurut Ketua Tim Pemenangan Elnino ke DPD RI, Thariq Modanggu, perjuangan Elnino untuk menginduksikan nilai-nilai luhur Gorontalo harus bisa masuk ke semua partai politik. “Bila Elnino menjadi calon anggota DPR, maka akan sulit bagi kami untuk masuk ke semua kalangan di Gorontalo karena dibatasi secara psikologis oleh dinding parpol. Karena itu, dia kami calonkan ke DPD-RI dan slogan yang kami pakai untuk menghindari benturan dengan parpol adalah “Apa pun partainya, Elnino DPD-nya”. Itu membuatnya jadi inklusif,” tutur Thariq.
Bagi tim pemenangan Elnino, prinsip “kalah terhormat, menang bermartabat” benar-benar mendarah-daging. “Tidak ada target kami untuk menang. Kami hanya ingin mengukur sejauh mana efektifitas gerakan pencerahan politik ini. Pencalonan Elnino itu sendiri adalah pengabdian kami. Jadi, kami bergerak tanpa beban sama sekali. Bila kalah, kalah terhormat. Bila menang, menang bermartabat. Kami hanya ingin memberikan contoh,” kata Thariq yang juga dosen di IAIN Sultan Amai Gorontalo.
Karena sekadar memberi contoh, maka Elnino lalu berkata, “Baiklah… Kalau pun menang, saya tidak bersedia menjadi calon DPD RI lagi (pada pemilu berikutnya, red). Cukup satu periode saja.” Kata-kata yang dipegangnya teguh hingga sekarang.
Sejak itu, selama 11 bulan (9 Mei 2008 sd. 9 April 2009), Elnino dkk terus mendatangi desa-desa yang mengundangnya berdiskusi.
Bermodal motor miliknya dan mobil yang dipinjamkan oleh pak Rustam Akili serta bensin yang dibantu oleh Prof. Nelson Pomalingo, Elnino secara sporadis melakukan presentasi dari Bone Bolango hingga Pohuwato.
Dengan segala keterbatasan teknis, selama itu Elnino hanya sempat mendatangi 192 dari 600-an desa yang ada di Gorontalo. Di setiap desa pun Elnino hanya berdiskusi tidak lebih dari 12 orang. “Biasanya di setiap pertemuan atau tiap desa kami hanya berdiskusi dengan tokoh-tokoh kunci saja ; aparatur desa, guru, imam, tokoh pemuda desa. Biasanya tidak lebih dari dua belas orang saja,” kisah Elnino.
Uniknya, di setiap kesempatan presentasi, Elnino nyaris tak pernah meminta untuk dipilih sebagai calon anggota DPD. Mengapa? “Dua latar kenapa tak minta dipilih. Pertama, alasan yang terdengar klasik, yaitu nabi kita tidak menganjurkan memberi jabatan kepada yang meminta. Kedua, dalam komunikasi pun akan terasa sangat tidak elegan bila kita minta dipilih. Nggak sreg gitu…rasanya kayak pengemis jabatan. Orang Gorontalo bilang moomu (sungkan atau setengah malu, red),” jawab Elnino.
Dia hanya berdiskusi tentang sejarah kehidupan sosial Gorontalo, keadaan masa kini dan apa yang harus dipersiapkan oleh rakyat untuk menghadapi keadaan dunia dan nasional pada 20-30 tahun kedepan. Mengapa tema seperti itu yang dipilih? “Sebab itulah yang selama ini tidak disadari oleh banyak orang, dan bang Elnino cukup tajam memaparkannya sampai-sampai di setiap presentasinya, banyak yang kaget dengan informasi yang diberikan, lalu menyadari betapa keadaan masyarakat yang miskin hari ini karena ada yang salah dalam memahami hakikat memilih, dikaitkan dengan aspek ruhiyah. Terkadang ada yang berlinang airmata bahkan menangis usai presentasi bang Elnino,” kenang Niswadi Esa, salah satu sahabat yang selalu menemani Elnino kemana-mana.
Kajian dari aspek adat sampai teori-teori besar dunia cukup baik dikuasai Elnino—dan penggunaan bahasa Gorontalo yang lugas serta teknik persuasi yang mumpuni adalah modal utamanya. “Ada yang dibuatnya sadar, ada yang dibuatnya merenung, ada juga yang sekadar menjadi kagum kepadanya,” papar Yaman Biahimo, salah satu sahabat Elnino yang sempat memfasilitasi beberapa kali pertemuan Elnino dengan masyarakat di desa-desa.
Presentasi Elnino yang seringkali masuk ke sendi-sendi agama Islam (dalam hal ini, tasawuf) dan adat Gorontalo begitu dahsyat memengaruhi pola pikir masyarakat. “Setelah dua jam presentasi dan tanya jawab, banyak yang mengira dia ustadz, padahal bukan….haha…,” ungkap Yaman tersenyum.
Di setiap kunjungannya, Elnino membawa laptop dan LCD yang keduanya dipinjamkan sahabat. Biaya untuk setiap pertemuan tak lebih dari Rp. 30.000, hanya untuk teh manis, 1 liter kacang kulit dan sesisir pisang—sebuah kombinasi makanan ringan yang biasa dikonsumsi rakyat Gorontalo untuk sekadar ‘nongkrong’. Semua biaya itu disediakan oleh tuan rumah.
Luar biasa akibat politik yang diperoleh Elnino dan para sahabatnya. Mereka bukan saja memperoleh pemilih atau pendukung di desa-desa yang mereka datangi, tetapi bahkan membuat para tokoh desa secara sukarela dan militan menjadi juru kampanye mereka secara informal. Tak heran bila di antara tokoh-tokoh desa itu ada juga yang sukarela menyumbangkan bantuan logistik untuk kampanye Elnino.