Modal pengalaman di Habari Lo Lipu adalah modal Elnino untuk masuk ke media cetak lokal yang baru berdiri, Harian Gorontalo, pimpinan Hamim Pou. Di sinilah karir kewartawanannya melejit. Dia belajar sangat cepat untuk memenuhi standar pemberitaan harian. Tak heran setelah 6 bulan sejak bergabung, Elnino ‘naik pangkat’ jadi redaktur.
Tetapi dia tidak puas bila hanya sekadar menulis berita berupa pernyataan (talk news). Elnino lebih suka menulis tentang peristiwa, bukan pernyataan. Bahkan dia suka melakukan investigasi terhadap sesuatu yang menarik bagi publik (untuk indepth report dan investigative report). Bukan hanya itu, dia pun menciptakan kolom “Tohetutu” tempat dia bebas menulis artikel, mengeluarkan pendapatnya sendiri, dan utamanya mengkritik para pejabat dengan sindiran-sindiran yang halus tapi nyelekit. Beberapa pejabat politik maupun pemerintahan dibuatnya gerah. Tapi di luar sana begitu banyak yang menyukai tulisan-tulisannya, bahkan menjadi fans-nya. Bukan berita yang ditulisnya yang membuatnya disukai, tetapi essay-essay pendeknya yang sering mengolah rasio dan emosi orang itulah yang membuatnya ngetop di kalangan pembaca Harian Gorontalo.
Tetapi ada yang unik dari wartawan satu ini. Pakaiannya tak pernah beres. Hampir semua celananya robek-robek. Bajunya pun robek-robek. Mungkin dialah orang yang paling kumal yang berani masuk ke ruangan para pejabat. Wajar jika ada politisi yang menjuluki Elnino sebagai “wartawan compang-camping”.
“Ketika bekerja dengan pak Harso, saya harus selalu tampil rapi. Tapi setelah jadi wartawan, saya merasa sangat bebas, merasa berkuasa, merasa hebat, merasa tidak perlu rapi, apa pun kata orang. Maklum, masih sangat muda, arogansi personal masih kental,” kisahnya sambil terkekeh-kekeh.
Beberapa judul artikelnya adalah “KUT-KUT Hota Hai” untuk menyindir koruptor Kredit Usaha Tani (KUT), “Walikota Prokololo” yang mengkritik Walikota Medi Botutihe, “Mario To Mario” yang menyindir kepemimpinan Bupati Ahmad Pakaya dan “Gubernur Wiung-Wiung” yang meledek sirene pengawal mobil Gubernur Fadel Muhammad. Ada juga istilah yang dipopulerkannya lewat essay “Provinsi Bentorpolitan.” Tulisan-tulisan Elnino tidak membuat pejabat yang dikritiknya marah, bahkan Walikota Medi Botutihe menertawakan dirinya sendiri ketika membaca “Walikota Prokololo”.
‘Kenakalan’ Elnino sebagai wartawan dan kolumnis Harian Gorontalo membuatnya cukup disegani oleh kalangan elit dan disukai oleh para pembaca. Bahkan orang-orang yang sering disebut sebagai ‘preman’ pun sangat menghargai dan menghormatinya. “Itu karena dia sangat mudah akrab, mudah senyum, dan rendah hati dengan orang lain… Padahal, kalau di kantor, dia sangat galak…salah menulis satu hurup saja kami bisa kena damprat, hahaha,” kenang Azis Manansang, rekan Elnino.
Ketika Harian Gorontalo sedang dalam proses mengganti nama menjadi Gorontalo Post, terjadi persoalan internal yang cukup pelik yang membuat Elnino nekat mengundurkan diri dari koran tersebut, November 2001. Dia lalu mendirikan tabloid “Bingkai” bersama Arrusdin Bone, Herdiyanto Yusuf dan Ahmad Ato Pakaya, dll dengan investasi dari Toni Yunus dan Nelson Pomalingo.
Tabloid yang memiliki 800-an pelanggan tetap itu akhirnya gulung tikar setelah terbit 13 edisi. “Tidak mudah mendirikan media. Tidak mudah… Tapi saya tetap berharap suatu saat ada orang lain yang bisa mendirikan media cetak yang tidak hanya bisa hidup dan menghidupkan karyawannya tetapi juga mampu menghidupkan pikiran-pikiran perubahan ke arah yang lebih baik di Gorontalo,” ungkap Elnino.