Sambil menjalankan tabloid Bingkai, Elnino menulis buku biografi berjudul “Walikota Medi ; Sekelumit kisah seputar dia” yang diterbitkan di tahun 2002. Karena keasyikan menulis kisah-kisah menarik tentang kehidupan pak Medi Botutihe, bukunya menjadi sangat tebal, lebih dari 300 halaman, yang artinya kurang cocok dengan kata “sekelumit” di cover buku. Dari hasil penjualan buku itu, Elnino mampu membeli sebuah sepeda motor dan membayar kontrakan rumahnya.
Di tahun 2003, dia terpilih sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Gorontalo. Sibuk sekali ketika itu, sebab Pemilu tinggal setahun lagi. Namun pemuda itu masih sempat- sempatnya menulis buku berjudul “Abad Besar Gorontalo” bersama intelektual terkemuka Gorontalo, Alim S. Niode. Buku itu terbit dengan disponsori oleh mantan Penjabat Gubernur Gorontalo, Tursandi Alwi bersama-sama dengan Prof. Nelson Pomalingo. Buku yang perlu dibaca dan dikritisi karena memuat garis-garis besar sejarah Gorontalo serta penjelasan-penjelasan singkat tentang latar belakang berbagai peristiwa penting di tanah Uduluwo Lo Ulimo Lo Pohala’a.
Di tengah banyaknya pekerjaan, Elnino teringat lagi akan pesan ibu dan bapaknya; sekolah setinggi mungkin. Maka di sela-sela menumpuknya tugas sebagai komisioner KPUD, Elnino mengirimkan surat lamaran untuk mendapatkan beasiswa International Fellowship Program dari Ford Foundation (IFP-FF). Dia didorong oleh sahabatnya Rahman Dako yang telah dinyatakan lulus sebagai penerima beasiswa tersebut.
Pemilu 2004 berlalu sudah. Beberapa kontroversi tentang keputusan KPUD Kota Gorontalo telah teratasi dengan baik. Tugas berat KPUD selanjutnya adalah Pemilihan Walikota 2008. Masih lama. Masih 4 tahun lagi. Sementara itu Elnino menerima surat untuk mengikuti tes IFP-FF selanjutnya di Manado, yaitu TOEFL (Test Of English as Foreign Language). Walaupun bahasa Inggrisnya tidak bagus, anak muda itu akhirnya lolos juga. “Mujur… Itu mujur… Dalam perhitungan saya, mestinya saya tidak lulus. Jawaban-jawaban saya hanya berdasarkan tebakan-tebakan saja. Mungkin tebakan saya banyak yang jitu saat itu. Hehehe. Karena itu, ketika menerima surat untuk mengikuti tes berikutnya, saya mencium kuat-kuat isteri saya…sebab saya yakin, doa isteri sayalah yang membuat tebakan saya tepat,” kisahnya sambil tersenyum.
Tes wawancara di Makassar, Elnino tanpa beban. Dia tahu, para pewawancara adalah professor-professor hebat lulusan luar negeri dan wawancaranya dalam bahasa Inggris. Tetapi, dia yakin bisa lulus walaupun tak bisa bahasa Inggris. Sebelum berangkat ke Makassar, dia meminta Dewi Dama, adik iparnya yang juga guru bahasa Inggris, untuk mengajarinya satu kalimat bahasa Inggris yang artinya, “Saya tidak bagus berbahasa Inggris, karena itu lebih baik saya jawab pertanyaan Anda dengan bahasa Indonesia.” Ini adalah ‘jurus palakololo’ ala Gorontalo.
Maka, ketika seorang professor mulai bertanya dalam bahasa Inggris, Elnino menjawab dengan kalimat, “I don’t speak English very well, so I would rather to answer your question in Bahasa Indonesia.” Sang professor menyela, “But your English is good.” (Tapi bahasa Inggris-mu bagus tuh…). Elnino menukas, “Hehehe… Maaf bu, kalimat tadi itu sudah saya hafalkan dari seminggu yang lalu.” Tukasan yang menggelakkan tawa para pewawancara. “Ya sudah…kamu boleh jawab sesuka kamu saja,” kata seorang professor sambil tertawa. Jadilah wawancara itu berlangsung dalam bahasa Indonesia.
Sepulang dari Makassar, Elnino berkata kepada isterinya, “Kalau saya lulus tes di Makassar, itu keajaiban…dan kalau keajaiban itu terjadi, itu karena doa kamu.” Dan benar saja, enam bulan kemudian dia menerima surat resmi dari IIEF (Indonesian International Education Foundation) yang menyelenggarakan beasiswa IFP-FF, surat yang menyatakan bahwa dia telah lulus sebagai salah satu dari 35 penerima beasiswa setelah disaring dari lebih dari 7000 pelamar di seluruh Indonesia.
Rasa syukur Elnino terhadap keajaiban yang diberikan Tuhan kali ini membuat air matanya menetes lagi. Air mata yang sangat jarang tampak karena sifatnya yang periang dan selalu optimis jika ada masalah. Dia terharu. Dia ingat lagi akan mama dan papanya yang telah tiada, pesan-pesan mereka untuk sekolah setinggi mungkin.
Tahun 2005, Elnino resmi mengundurkan diri dari jabatan anggota KPUD Kota Gorontalo. Sebab, dia harus mengikuti Pre Academic Training di Jakarta. Sejak itu dia kembali lagi menghuni Asrama Mahasiswa Gorontalo di Jalan Salemba Tengah No. 29, asrama yang dulu dia tempati ketika SMA dan menjadi ‘rumahnya’ setiap libur ketika kuliah di Bandung.