Bapaknya menamainya Syaiful Mohi ketika lahir. Karena sakit- sakitan, sesuai tradisi, namanya diganti jadi Ramadhan Mohi. Dan dengan alasan yang sama, diganti lagi menjadi Husain Mohi. Yang tidak diubah hanyalah nama panggilannya; Elnino. Nama yang diambil dari badai El-Nino yang melanda Philipina—saat sang anak lahir, terjadi dutalo (badai) di Gorontalo yang merupakan efek dari badai El-Nino. Badai yang cukup kuat itu menumbangkan pohon-pohon besar di Desa Ayula, Tapa, tempat kelahiran Husain Mohi alias Elnino.
Mustapa Mohi menyapa anaknya dengan Kunino (tampaknya merupakan plesetan dari Nino-ku). Tetapi karena sang ibu sangat ingin punya anak perempuan, maka hanya nama perempuanlah yang dipakainya untuk memanggil sang anak ; Nining. Tak heran jika keluarga
Elnino di pihak ibu dan juga para tetangga di Tapa dan sekitar memanggilnya “Nining” sementara keluarga di pihak bapak—di desa Luhu dan Sipatana—memanggilnya “Nino”. Terkadang pula bapak dan kakak- kakaknya memanggilnya “Baijo” atau “Bajo” karena legamnya kulit dan lincah tubuhnya bergerak.
Di umurnya yang keempat, Elnino memberi tanda sebagai ‘anak yang aneh’. Dia sudah bisa membaca dengan sangat baik walaupun ada kata-kata yang tidak dia mengerti. Gurunya di TK Beringin Ayula, Ibu Dince, sering memperlakukannya secara khusus karena perbedaannya dengan anak- anak lainnya.
Bakatnya bukan hanya itu. Elnino kecil, alias Nining, alias Kunino, juga menunjukkan kemampuannya menyanyi yang istimewa. Bahkan dia pun sangat lincah dalam permainan fisik.
Ketika masuk ke kelas 1 SDN II Ayula, Elnino telah menamatkan membaca Al- Quran di Taman Pengajian Attaubah asuhan Bapak Muchtar Maku (Pasisa Riko).
Nilai-nilainya di sekolah nyaris sempurna. Raportnya dipenuhi oleh angka “10” hingga kelas 3 SD—suatu nilai yang “sangat terpaksa” diberikan oleh para guru karena sebetulnya nilai “10” tidak dibenarkan masuk Raport. Tetapi bagaimana mungkin tidak ditaruh angka “10” sementara Elnino tidak punya sedikit pun kesalahan dalam setiap ulangan dan ujian? Barulah di kelas 4, Elnino memiliki nilai tertinggi “9” sebab para guru beroleh peringatan dari Mustapa Mohi, bapaknya, yang merupakan senior dari para guru tersebut. “Anak saya bukan anak yang sempurna, jadi jangan kasih lagi nilai 10 di raportnya. Dan…jangan sampai dia jadi merasa sama pintar dengan gurunya…,” ungkap Mustapa kepada Kepala SDN 2 Ayula, Jahja P Talib. Sebelum itu, rupanya, Mustapa belum pernah memeriksa raport anaknya, dia sudah puas dengan diberitahu bahwa anaknya beroleh Rangking I.
Sebagai kader Pramuka, Elnino kecil juga mengoleksi penghargaan dari berbagai lomba, dari juara MTQ, juara Morse, juara lintas alam, juara menggambar, hingga juara menyanyi. Anak yang tubuhnya lebih kecil dari kawan sebayanya, lebih hitam kulitnya, tetapi luar biasa bakatnya.
Ketika lulus SD, Elnino atas inisiatifnya sendiri mengganti namanya untuk dituliskan di STTB menjadi Mohamad Husein Mohi. “Saat itu saya setiap hari menonton Dunia Dalam Berita di TVRI bersama bapak saya. Saya jadi pengagum Saddam Hussein yang sering jadi berita. Maka saya berniat mengganti nama saya menjadi Saddam Hussein Mohi. Saya diijinkan oleh bapak saya untuk penggantian nama itu. Di perjalanan ke sekolah, saya ketemu kakak sepupu saya, Salma Rahman. Ta Ama menyarankan agar nama saya menjadi Mohamad Hussein Mohi. Dan jadilah nama Mohamad Husein Mohi di STTB—salah tulis sebetulnya karena huruf “s”-nya cuma satu, tapi terlanjur…jadi saya biarkan saja,” kenang Elnino sambil tersenyum.
Sejak SD, Elnino juga dilatih sang ayah untuk berbisnis. Ketika kelas 2 SD, dia sudah kesana-kemari berjualan rokok, kacang dan es mambo. Karena disiplin bisnis yang cukup keras, setahun kemudian dia sudah punya warung kecil untuk barang-barang harian. Ketika lulus SD, warungnya menjadi cukup besar hingga menjual onderdil sepeda. Warung itu akhirnya bangkrut setelah sang ayah meninggal dunia dan Elnino merantau ke Jakarta.
Di SMPN 6, dia juga menjadi bintang walaupun selama tahun pertama dia berjalan kaki pergi-pulang sekolah. Sering pula dia menumpang sepeda kawannya, tentu saja dengan ‘jasa balik’ mengayuhkan sepeda. Predikat Juara I Umum tak pernah lepas darinya. Di kelas 2 SMPN, ketika adiknya Katon menyusul masuk sekolah itu, mereka beroleh hadiah sebuah sepeda BMX dari sang bapak. Cukup bergengsi ketika itu. Ketika sang bapak meninggal dunia, sepeda itulah yang menjadi penghibur bagi kedua kakak-adik itu agar tidak tenggelam dalam kesedihan.
Kehilangan bapak, Elnino kecil justru semakin menggila dalam belajar. Buku-buku perpustakaan sekolah jadi ‘makanannya’. Dia mempelajari semua yang belum diajarkan oleh guru. Jadinya dia sendiri sering bosan ketika sesuatu yang telah dibacanya masih diajarkan oleh guru di kelas.
Untung saja dia punya hobi lain di rumah; bermain layangan dan sepak bola. Dia direkrut sebagai gelandang kesebelasan AC MILAN milik Alwin Podungge di Sipatana—klub yang cukup disegani di kancah persepakbolaan anak-anak di Kota Gorontalo dan sekitarnya kala itu.