Dua anak umur 13 tahun dan 11 tahun itu tak henti-hentinya membaca Surah Yasin, 12 Juni 1989. Mereka adalah Elnino dan Rahmad Katon Mohi. Kakak-kakak mereka berlinang air mata, satu per satu menghadap sang ayahanda yang sedang sekarat, memohon maaf dan mengucapkan terimakasih. Mustapa Mohi telah lama terbaring sakit. Tubuh rentanya tak lagi sanggup digerakkan. Tapi dia masih tersenyum.
“Maa ilambunguwa’u timongoli nga’mila… Wawu ambunguwa ma’o li mongoli wa’u… Maatiya Eeya’u mohama ola’u… (sudah kumaafkan kalian semua… dan mohon kalian maafkan aku… Sebentar lagi Tuhanku akan menjemputku)”, terbata-bata Mustapa Mohi. Lalu dia berbisik sebentar kepada isterinya, Hadjari I. Lebi. Tak berselang lama kemudian, “Laa ilaaha illa Allah…”, suaranya pelan. Tiga tarikan nafas berlalu, Mustapa Mohi tinggallah raga. Senyum masih ada di bibirnya….
Suasana di Jln. Barito No. 38 penuh isak tangis. Tetapi isteri dan anak-anak almarhum Mustapa Mohi nyaris tak mengeluarkan suara sama sekali, hanya tubuh mereka yang gemetar. Tampaknya mereka begitu kuat menerima kenyataan, walaupun pada faktanya hati mereka sedih bukan main-main. Semasa hidupnya, Mustapa Mohi selalu melarang orang menangis sambil bersuara jikalau ditinggal mati orang terkasih. Mereka sadar, jikalau tangis mereka sampai kedengaran, pasti almarhum marah besar.
Selama 63 tahun hidupnya, Mustapa Mohi telah mengalami berbagai lika-liku kehidupan. Terlahir, 20 Agustus 1927, sebagai anak sulung dari 6 bersaudara, Roki – begitu nama kecilnya beroleh beban yang berat sejak masa kecilnya. Katrina Mohi, bapaknya, adalah saudagar kecil (semacam pedagang kelontong/cabo), mendatangi pasar- pasar di Telaga hingga Tabila’a (Bolmong). Dia membangun rumah di Olele, Oluhuta.
Oleh bapaknya, Roki kecil ditugasi untuk membantu menghidupi ibu dan adik-adiknya dengan membuka kebun, serta memelihara sapi dan kambing milik keluarga. Dan…ini yang penting; Roki dilarang sekolah. Keinginannya yang besar untuk sekolah akhirnya membuat dia berontak dari bapaknya, dan memutuskan untuk tinggal bersama pamannya, Bapak Yunus Latif, di Telaga, yang juga seorang guru. Dia disekolahkan oleh sang paman. Pak Guru Yunus Latif kemudian dikenal sebagai Temey Roki, dan dikenal juga sebagai Pak Guru Roki. (Catatan: Dalam tradisi Gorontalo, ada yang disebut dengan “toli”, yaitu menyebut nama seorang tokoh dengan menggunakan nama keponakannya).
Singkat cerita, Roki atau Mustapa Mohi berhasil menamatkan sekolahnya lalu menjadi guru. Dia juga sempat mengajak adik laki- lakinya, Abubakar Mohi ke Telaga untuk sekolah, dan kemudian juga menjadi guru.
Selain merintis pendirian beberapa sekolah SD di Telaga, Bonepantai, Tapa dan Suwawa, Mustapa Mohi juga ikut dalam Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pimpinan KH. Abas Rauf (Kaali Abasi), partai politik yang sangat kuat di Gorontalo pada Pemilu 1977 selain Golkar. Dia sempat menjadi anggota DPRD saat itu.
Mustapa Mohi juga merupakan anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) karena keikutsertaannya dalam perjuangan yang dipimpin oleh Bapak Nani Wartabone (Temey Jonu) menghadapi beberapa pemberontakan terhadap NKRI.
Dia juga merupakan bisnisman yang cukup gigih, mengembangkan usaha perkebunan kopra, kapur, dan angkutan umum bendi, serta membangun beberapa koperasi yang kuat dan bermanfaat bagi para anggotanya.
Ketika ada kebijakan dari pusat bahwa PNS tidak dibolehkan untuk ikut partai politik, Mustapa Mohi terpaksa meninggalkan PSII (yang telah dilebur dengan Masyumi dan PNU menjadi PPP). Dia memilih berkarir sebagai guru dan PNS, anggota Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Ketika itu, Korpri diwajibkan berafiliasi kepada Golongan Karya (yang saat itu mengaku bukan sebagai parpol, tetapi “hanya” sebagai sebuah golongan walaupun kekuatan politiknya lebih besar daripada parpol).
Pensiun dari jabatan terakhirnya sebagai Kepala Cabang Dinas PDK Tapa, Mustapa Mohi menikmati sisa hidupnya dengan menyibukkan diri mengurus kebun di sekitar rumahnya.
Selama hidupnya, Mustapa Mohi alias Roki, menikah tiga kali dan dianugerahi 8 orang anak dari ketiga isterinya tersebut. Patut dicatat bahwa Mustapa Mohi tidak berpoligami, dia menikah lagi setelah isterinya meninggal dunia.
Mustapa Mohi, sejak 1979, telah menyiapkan batu nisan bertuliskan namanya sendiri, kain kafan dan benda-benda yang diperlukan untuk upacara kematiannya, walaupun dia meninggal sepuluh tahun kemudian. Itu adalah tradisi yang dilakukan oleh para orang tua di Gorontalo untuk mengingatkan diri sendiri akan kematian yang pasti akan dialami. Mustapa sangat menyadari bahwa yang pasti di masa depan hanyalah mati dan kenangan.