Mei 1992. Sebentar lagi libur sekolah. Elnino yang baru saja menjadi juara kelas di SMA 81 Labschool, Jakarta Timur, bersiap-siap untuk magang kerja di salah satu perusahaan Fried Chicken untuk mengisi liburan panjangnya sebelum naik ke kelas 3. Tiba-tiba di Asrama Mahasiswa Gorontalo—Salemba Tengah, tempat dia tinggal, Elnino menerima telegram dari Gorontalo. Isinya singkat, “NINOLIBURPULANG- MAMATUNGGU”.
Elnino berpikir, daripada pulang kampung yang justru mengeluarkan uang, sementara sang mama sendiri sedang kesulitan, maka lebih baik dia cari duit sambil kerja magang. “NINOTIDAKPULANG- KOMAMAGANGCARIUANG”, dia membalas telegram. Malamnya, sang mama menelpon dari wartel, meminta anaknya agar segera pulang, mumpung libur. Tapi anak itu keras kepala. Dia ngotot kerja magang di Jakarta daripada pulang kampung mengisi liburan. Berulang kali ibunya membujuk sampai menangis, Elnino tidak bergeming. Dia benar-benar ingin kerja magang.
Esok paginya, setelah sholat Subuh, Elnino kehilangan kesadaran dirinya. Ketika dia sadar, dia sudah berada di atas Kapal Motor Kambuna yang telah melempar sauh, menuju pelabuhan Bitung. Elnino bingung, karena ini adalah kejadian teraneh selama hidupnya. Dia tiba-tiba sudah berada di atas kapal, dan ternyata di kantongnya sudah terselip tiket Jakarta-Bitung. Seperti mimpi. Kenapa bisa begini? Darimana tiket itu? Karena sudah terlanjur, walau masih bingung, dia memutuskan melanjutkan perjalanan hingga ke Bitung, lalu naik bis ke Gorontalo.
Tiba di depan pintu rumahnya di Gorontalo jam 05.00 subuh, 19 Juni 1992. Mamanya terharu memeluk sekuat-kuatnya si anak yang telah dua tahun tak bertemu. Segala rindu kasih ibu tertumpah. Sejak pagi itu hingga seharian penuh mereka berdua bercerita banyak hal. Masing- masing mencurahkan keluh kesah dan kisah suka-duka selama dua tahun berpisah.
Tak disangka, keesokan harinya, Hadjari Lebie, sang ibu meninggal dunia. Stroke menyerangnya, dan tak dapat diselamatkan lagi di RSAS. Masyarakat di Tapa, Kota Bagian Utara, Kabila dan seluruh keluarga kaget. Sebab, Sus Jari—demikian almarhumah disapa—tidak punya tanda-tanda sakit sama sekali. Perawat yang dikenal murah hati dan murah senyum itu masih beraktifitas seperti biasa di hari-hari sebelumnya.
Shock dan sedih yang tiada tara di hati anak-anaknya. Apalagi Elnino. Baru saja sehari dia sempat berbagi cerita dengan sang mama, anak umur 16 tahun itu sudah harus menerima kenyataan; ibunya wafat dan takkan pernah lagi bertemu di dunia ini. Rasa sedih yang mesti dia pendam dalam-dalam. Saking kuatnya dia memendam penyesalannya, ekspresi wajah Elnino sangat datar. Hampa. Matanya pun tak berlinang, seakan tidak terjadi apa-apa. Seakan yang ada di kesadarannya adalah ibunya masih hidup. Barulah setelah tiga hari sejak kematian sang mama, Elnino menangis di setiap sujudnya ketika sholat, seringkali sholatnya batal karena terlalu lama menangis dalam sujud… tak bisa bangkit. Bagi Elnino, tiada hal yang paling menyedihkan selain kehilangan orang yang dicintai dan mencintainya, apalagi yang pergi selamanya itu adalah seorang ibu. Tapi kesedihan itu tidak membuat anak kelas 2 SMA itu putus asa.
Singkat cerita… Setelah tiba kembali di Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya, barulah Elnino mendengar cerita dari Ipun Gibran, sahabatnya yang tinggal di asrama mahasiswa Gorontalo di Salemba Tengah. “Waktu ngana berangkat ke Gorontalo, Nino, ngana kase bangun pa kita deng te Ais (Luneto). Ngana bapinjam doyi pa te Ais mo bili akang tiket kapal. Torang dua yang pigi di pelabuhan pi bili tiket, kita yang bantu pa ente ba antri tiket. Bo…memang kita liat ngana waktu itu macam stengah-stengah sadar…” kisah Ipun.
Elnino baru tahu, bahwa ketika itu memang dia bersikukuh untuk tidak pulang kampung. Tetapi semua yang dilakukannya hingga berada di atas kapal itu dia lakukan tanpa kesadaran sama sekali. Doa ibunyalah yang menarik ruh dan tubuhnya untuk kembali ke Gorontalo tanpa sadar.
Panggilan ibunyalah yang menuntunnya—seperti dihipnotis—untuk meminjam uang, pergi ke pelabuhan, membeli tiket, hingga naik kapal. Sebab… “Mama saya ingin saya berada di sampingnya ketika beliau meninggal,” kenang Elnino.
Hadjari I. Lebi adalah anak keempat dari pasangan Ismail Lebi dan Hanani Kaluku. Di antara 6 bersaudara, Hadjari adalah yang paling tinggi sekolahnya sehingga berhasil menjadi abdi negara sebagai perawat/suster.
Dikenal sebagai perawat yang pendiam, ramah, Hadjari juga senantiasa tulus membantu orang yang kesulitan. Suatu ketika, misalnya, dari Talulobutu, Tapa, datanglah jam 12.00 malam seorang bapak yang bersepeda ke rumah Sus Jari. Dia minta tolong agar anaknya yang sedang panas tinggi diobati. Malam itu juga Sus Jari minta ditemani Elnino ke Talulobutu, bersepeda dari Bulotadaa.
Rumah yang dituju rupanya adalah gubuk kecil berdinding pitate. Mereka pasti orang susah. Setelah menyuntik dan memberi obat untuk si anak yang sakit, Sus Jari menyelipkan selembar Rp. 500 (lumayan bermakna di tahun 1987) di plastik pembungkus obat. Dia lalu menunggui dua jam hingga anak itu turun panasnya, tentu saja sambil ngobrol dengan tuan rumah. “Setelah yakin anak itu akan segera sembuh, kami pamit pulang, dan mama saya menolak dengan halus pemberian dari tuan rumah,” kenang Elnino.
Salah satu prinsip dari ibunya, kata Elnino, lebih baik memberi kepada yang membutuhkan sesuai kemampuan ketimbang meminjamkan uang yang dia sulit untuk mengembalikan. “Dan hingga hari ini, prinsip itu saya rasa sangat benar. Pernah saya melanggar pesan mama itu. Saya meminjamkan sejumlah uang kepada seorang kawan yang memerlukan… Dan ternyata saya capek untuk menagihnya, hahaha. Jadi, lebih baik diikhlaskan saja…minimal dapat pahala…,” tutur Elnino.
Reputasi Hadjari I. Lebi yang sangat disayangi berbagai kalangan yang mengenalnya benar-benar terlihat ketika jasad beliau dikuburkan di Desa Ayula Selatan. Ribuan orang datang melayat, ribuan orang ikut mendoakan almarhumah, seakan-akan almarhumah adalah tokoh besar. Segala sesuatu dari Allah, segala sesuatu kembali kepada Allah….