Pada April 2008, Elnino bersama puluhan sahabatnya bersepakat untuk memberikan warna lain dalam Pemilu 2009, yaitu dengan melakukan gerakan pencerahan politik hingga ke desa-desa. Targetnya adalah menjadikan para tokoh lokal—rujukan (opinion leaders)—di tingkat desa sebagai pejuang ‘meritokrasi’ (demokrasi yang mengutamakan nurani dan fairness) berdasarkan nilai-nilai luhur Gorontalo.
Nilai-nilai luhur Gorontalo itu sendiri berakar pada empat nilai utama; kecerdasan (mo’ulindlapo), akhlak (dudelo), kekeluargaan (motolo ngala’a, dll) dan persahabatan (huyula, mo’awota, dll). Keempat nilai inilah yang menciptakan Empat Zaman Keemasan Gorontalo—dikenal dalam sejarah dengan “Ilomata Wopato”—sebelum masuknya penjajah Belanda ; Masa kepemimpinan Ilahudu 1382-1427, Matolodulakiki 1550- 1580, Eyato-Popa 1673-1677 dan Botutihe 1728-1755. Empat Zaman dimana para Olongiya (presiden) dan pejabat negara Pohalaa Lo Hulondlalo (Gorontalo Serikat) dipilih secara demokratis dengan pertimbangan empat nilai luhur tersebut.
Jadi, seseorang menjadi presiden dan pejabat pemerintahan di Gorontalo dipilih oleh rakyat karena yang bersangkutan adalah orang yang paling cerdas, akhlaknya paling bagus, rasa kekeluargaan dan persahabatannya paling tinggi. Jika seseorang terpilih sebagai Taa-uda’a (setara kepala desa) berarti dialah yang terbaik di desa itu. Menjadi Wuleya Lo Lipu (setara Camat) bermakna dialah yang terbaik di wilayah itu. Tidak ada pertimbangan uang atau pemberian atau sogokan dalam bentuk apa pun ketika memilih penyelenggara negara! Itulah jati diri orang Gorontalo.
Elnino dan para sahabatnya menjelaskan, sebetulnya nilai-nilai luhur tersebut sifatnya universal. Ada di semua suku. Ada di semua bangsa di dunia ini. Hanya saja, perkembangan zaman belakangan ini yang menjadikan kita di Indonesia semakin melupakan nilai-nilai luhur lokal—yang sebetulnya universal itu. Kita semakin materialistik…bahkan ketika negara-negara maju mulai meninggalkan budaya materialistik.
Dari desa ke desa, Elnino dkk membawa laptop dan LCD pinjaman untuk presentasi tentang nilai-nilai tersebut. Mereka bicara dalam tiga konteks; sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia, perkembangan nasional, dan terutama nilai-nilai lokal tersebut.
“Kami jelaskan bahwa peradaban yang maju seperti Mesir, Yunani, Romawi di jaman lama, serta Amerika, Eropa, Jepang, Korea, China, India di jaman baru, semuanya memiliki budaya yang bersandar pada supremasi moral, supremasi ilmu pengetahuan dan bukan supremasi uang atau kekuasaan,” kisah Elnino.