Lulus SMPN 6 dengan Nilai Ebtanas Murni (NEM) 50,12 (untuk 6 mata pelajaran), Elnino alias Mohamad Husein Mohi diikutkan dalam tes penerimaan beasiswa “Program Habibie” yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kodya Gorontalo pimpinan Walikota Yusuf Dali. Pengumuman hasilnya agak terlambat, diketahui setelah Elnino sempat sebulan lebih sekolah di SMAN 3 Gorontalo.
Sepuluh anak terbaik Gorontalo beroleh beasiswa “Program Habibie”. Mereka adalah Elnino Moh. Husein Mohi, Subhan Lamusu, Muslim Hasan Yusuf, Agussalim Yusuf, Syafrudin Tou, Bambang Nadjamuddin, Wahyudin Lihawa, Mulad Arifianto Henga, dan Alex Hitler Maga. Ini adalah gelombang kedua setelah sebelumnya 10 anak lainnya telah menerima beasiswa yang sama. Gelombang pertama adalah Mulhimah Kau, Joni R Abdjul, Riska Polapa, Sukarno Is. Tuah, Maryam DaI, Muchlis Mile, Nani Habibie, Nickartin Bulango, Yulan Dani dan Lucky Taha. Ada juga Yasin Usman Dilo dan Risnawaty Yusuf yang menyusul ke Jakarta.
Beasiswa ini dilatari oleh niatan tulus tokoh-tokoh nasional asal Gorontalo; BJ Habibie, Ary Mochtar Pedju, Karim Kono, dan para pengurus LAMAHU. Mereka ingin memajukan Gorontalo, ingin melahirkan lagi “Habibie baru”. Maka dibawalah anak-anak terbaik Gorontalo ke Jakarta untuk mengecap pendidikan yang jauh lebih berkualitas. Gelombang pertama disekolahkan di SMA Islam Al-Azhar Kemang, sedangkan gelombang kedua—Elnino dkk—dititipkan di SMA Katolik Seruni Don Bosco Pondok Indah. Pasangan Bapak Ary M. Pedju-Ibu Ulfah Datau dan Bapak Karim Kono-Ibu Yusna Tangahu menjadi bapak angkat dan ibu angkat dari 22 anak tersebut. Mereka menyebut anak-anak brilian itu sebagai PAHALA—singkatan dari Putra Harapan Lamahu.
Di Jakarta, anak-anak Gorontalo itu menunjukkan kehebatan mereka. Di Al-Azhar, setiap mid-semester dan semester ranking teratas selalu didominasi anak-anak Gorontalo. Begitu pula Elnino dkk di SMA Don Bosco yang merajai rangking kelas. Suatu kebanggaan bagi kedua sekolah tersebut karena memiliki talenta-talenta yang luar biasa.
Naik ke kelas 2, Elnino berinisiatif pindah ke SMAN 81 Labschool Jakarta Timur. Di sana prestasi akademiknya menurun drastis.
Mengapa? Mungkin karena dia sedang ‘puber’, sedang nakal-nakalnya, mencari aktifitas lain dan tidak mau terjebak rutinitas belajar.
Semangat Elnino untuk meraih prestasi terbaik di sekolah kembali mencuat setelah ibunya meninggal dunia, ketika dia akan naik ke kelas 3. “Pesan bapak dan ibu saya sebelum mereka meninggal hanya satu ; sekolah setinggi mungkin, karena hanya kecerdasan yang bisa menjadi ‘harta warisan termahal’ dalam kehidupan di dunia,” kenang Elnino.