Berjibaku dengan kehidupan Jakarta yang keras telah dengan dahsyat mengubah dan membentuk kembali jati diri Elnino M. Husein Mohi. Di umurnya yang ke 15, dia sudah tak punya ayah, jauh dari ibu, hidup di asrama secara apa adanya. Yang menjadi kerabat dekatnya hanyalah teman-teman seperjuangannya dari Gorontalo.
Secara diam-diam, dia berangkat jam 05.00 subuh ke sekolah, sembari mengantarkan koran ke rumah-rumah pelanggan. Sepulang sekolah dia mengamen sendiri di bis, meminjam gitar pengamen profesional yang berkawan dengannya. Jam 16.00 baru dia kembali ke asrama. “Karena gengsi, saya tidak pernah mau teman-teman di asrama tahu tentang itu, karena pak Ary dan pak Karim bisa marah kalau ada di antara kami yang ketahuan melakukannya. Sebab, kami dibawa ke Jakarta hanya khusus untuk belajar. Padahal saya juga ingin beli sepatu yang lebih bagus, beli donat, dan lain-lain. Jadi, saya coba cari duit sendiri untuk itu,” kenang Elnino. Ketika dia membeli dengan tabungannya sendiri dua pasang sepatu Spotec dan Kashogi—lumayan mahal jika diukur dari kemampuan anak asrama—Elnino meminta tolong kawan sekolahnya untuk mengantarkan sepatu itu ke asrama. Mereka bersandi- wara seakan-akan sepatu itu adalah hadiah dari bapak si kawan tadi.
Lulus dengan NEM 53,92 (untuk 7 Mata Pelajaran), tahun 1993, Elnino M. Husein Mohi mengikuti UMPTN dan menembus persaingan ketat nasional ke Jurusan Matematika Institut Teknologi Bandung. Dia juga lulus seleksi masuk STT Telkom Bandung. Dengan yakin Elnino memilih kuliah di STT Telkom, padahal itu adalah perguruan tinggi swasta yang cukup elit karena sangat selektif memilih mahasiswa dan karena biaya kuliahnya yang jauh di atas biaya perguruan tinggi negeri.
Biaya masuk STT Telkom serta SPP semester pertama dibantu oleh Bapak Ary M. Pedju. SPP semester II dibantu oleh Bapak Karim Kono. Untuk makan, bayar kos, serta membeli buku, Elnino malu untuk meminta bantuan tambahan. “Sudah terlalu banyak yang pak Ary dan pak Karim bantu kepada saya, dan saya merasa bukan anak kecil lagi waktu itu, merasa tidak pantas untuk minta lagi,” kisah Elnino.
Karenanya, dia menyewa becak dengan setoran harian. Beberapa kali kawan kuliahnya sendiri yang menjadi penumpang becaknya. Hasil dari becak itu dihematnya setiap hari, sebagian ditabung karena dia tahu semester berikutnya dia harus mengongkosi kuliahnya sendiri. Ketika itu, dia sendiri sering tersenyum geli di depan cermin. “Ah, kau satu-satunya tukang becak yang kuliah di kampus yang mahal..!” celotehnya kepada bayangan dirinya ketika berias untuk berangkat ke kampus.
Lagi-lagi, gengsilah yang menghentikannya mengayuh becak. Ketika mahasiswa angkatan berikutnya mulai masuk kuliah, dia mencari cara lain untuk beroleh uang demi kelanjutan sekolah dan tentu saja kelanjutan hidupnya. “Malu sama cewek-cewek cantik adik tingkat yang baru masuk… Bagaimana caranya saya bisa dapat pacar di kampus kalau saya narik becak terus?” kenangnya sambil tertawa. Memasuki semester III, tahun 1994, dia mencetak transkrip nilai dua semester sebelumnya. Dibuatnyalah proposal sederhana, empat rangkap. Karena tak lagi punya sepeser pun duit, Elnino Mohi meminjam Rp. 200 ribu dari kawannya, lalu berangkatlah dia dari Bandung ke Jakarta.
Di Jakarta dia datang ke pak Ary Pedju, mengucapkan terimakasih atas bantuan pak Ary selama ini, lalu melaporkan perkembangan kuliahnya sambil menyerahkan transkrip nilai dengan IPK 3,20. Pak Ary cukup bangga. Lalu Elnino menyerahkan proposalnya. “Saya datang juga untuk minta bantuan bapak. Setiap semester saya membutuhkan hingga Rp. 1 juta. Tetapi saya sudah punya Rp. 500 ribu. Tinggal Rp. 500 ribu yang sulit saya dapatkan, pak…,” ungkapnya. “Ooh begitu ya? Kamu dapat uang dari mana?” tanya pak Ary.
Elnino takut mengaku menarik becak. Jawabannya pelan sambil menunduk, “Saya…narik…becak…pak…,” lalu dia segera menyambung, “…tapi saya juga mengajar anak-anak SMA, pak, untuk persiapan UMPTN.” Pernyataan kedua itu bohong, walaupun dia ucapkan dengan cepat. Wah, kata Elnino dalam hati, kenapa aku jadi tukang becak ya? Padahal kan aku sangat ahli Matematika dan Fisika… Kenapa ide mengajar untuk pra-UMPTN ini baru muncul sekarang? Tapi saat itu dia cukup tegang menunggu reaksi pak Ary.
“Hebat kamu…,” binar mata pak Ary menghentikan lamunannya, “…Baiklah, ini saya bantu kamu Rp. 500 ribu.” Sesaat kemudian pak Ary merogoh lagi dompetnya, mengeluarkan Rp. 500 ribu lagi sambil berkata, “Dan ini supaya kamu berhenti narik becak.”
Elnino juga mendatangi pasangan Bapak Suharso Monoarfa-Ibu Carolina Kaluku yang kemudian ikut membantunya dengan memberikan beasiswa Rp. 50 ribu per bulan sampai dia jadi sarjana. “Entah bagaimana hidup dan kuliah saya tanpa beasiswa itu… Walaupun saya
berusaha berdiri di kaki sendiri, beasiswa itu bukan hanya sekadar menopang hidup, tapi juga memberi semangat dan cita-cita agar saya bisa membantu orang lain sebagaimana tokoh-tokoh itu membantu saya,” tutur Elnino Mohi.
Sepulang dari Jakarta, dia membayar registrasi kuliah sekaligus melunasi pinjaman di kawannya. Lalu, mulailah dia merealisasikan idenya; mengajar private anak SMA kelas 3 di Bandung untuk persiapan UMPTN. Dia juga menjadi agen produk sablonan, khususnya kartu nama. Lumayan untuk menopang hidup, karena dia mendapatkan pelanggan yang banyak dari kawan-kawannya yang sangat banyak. “Teman-teman saya bukan hanya di STT Telkom, tapi dari berbagai kampus. Orang tua atau kenalan mereka memesan kartu nama di saya. Lumayan untuk beli buku,” kisahnya.
Singkat kisah, Elnino secara mandiri membayar kuliahnya dari semester 4 hingga lulus di semester 10, tahun 1998. Walaupun dia sering menumpang tidur di kos-kosan atau rumah kontrakan teman—karena tidak punya uang bayar kos-kosan—dan juga sering menggunakan laboratorium kampus untuk tidur—dengan berpura-pura membantu kawannya yang asisten dosen, anak muda itu menyelesaikan skripsinya dengan sangat baik. Kuliahnya hanya sedikit terganggu ketika aktif dalam pergerakan reformasi di kampusnya. Setelah B.J. Habibie jadi presiden, Mei 1998, Elnino mencurahkan semua waktu dan energinya untuk memulai dan menyelesaikan skripsi. Elnino diwisuda September 1998 sebagai Sarjana Teknik.